Senin, 04 Desember 2023


 Berdasarkan pasal 1156 KUHPerdata apabila debitur lalai melakukan kewajibannya maka kreditur dapat menuntut melalui pengadilan agar barang jaminan yang dijual untuk pelunasan utang debitur beserta bunga dan biayanya.

Lalu bagaimana jika kreditur menjual barang jaminan milik debitur tanpa izin?

Kreditur yang menjual barang jaminan tanpa izin bisa dikategorikan sebagai penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372 KUHP. 

Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 618K/PID/1984 tanggal 17 April 1985, yang menyatakan bahwa:

“penjualan barang-barang jaminan milik saksi oleh terdakwa tanpa izin saksi tersebut merupakan penggelapan”

Cara “penjualan” barang jaminan (gadai) debitur untuk pelunasan utang debitur yang dibenarkan hukum  yaitu:

1. Meganjukan permohonan eksekusi melalui pengadilan (Pasal 1156 KUHPerdata.

2. Eksekusi melalui atas kekuasaan sendiri melalui kantor pelelangan umum.

3. Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan (menjual sendiri) asalkan sebelumnya, sudah disepakati atau mendapat izin debitur.


Minggu, 03 Desember 2023


 Seseorang bisa dikatakan terbukti melakukan penipuan bila cara yang anda gunakan adalah dengan menggunakan serangkaian kata bohong, tipu muslihat, nama atau martabat palsu, sehingga orang lain tergerak menyerahkan barang/uang.

Hal ini diperkuat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 1601 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 yang menyatakan bahwa:

“unsur pokok delict penipuan (ex pasal 378 KUHP) adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku untuk menggerakan orang lain agar menyerahkan barang.”

Artinya, bila seseorang bisa membantah atau membuktikan bahwa dia tidak pernah menggunakan cara serangkaian kata bohong, tipu muslihat, nama atau martabat palsu untuk menggerakan oranglain sehingga menyerahkan barang, maka dia tidak bisa dikenakan penipuan. Melainkan itu masalah perdata yang tidak bisa dipidana.

Lebih lanjut, dalam Yurisprudensi MA No. 1061 K/Pid/1990 tanggal 26 Juli 1990 juga  menyatakan bahwa:

“dengan tidak terbuktinya unsur penting dalam delik penipuan tersebut.(tergerak/terbujuk) dalam perkara ini menurut Mahkamah Agung RI merupakan transaksi keperdataan yang tidak ada unsur pidananya..”

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa seseorang harus bisa membantah (membuktikan) bahwa dia tidak ada menggunakan cara serangkaian kata bohong, tipu muslihat, nama atau martabat palsu untuk menggerakan oranglain sehingga menyerahkan barang..Apabila hal tersebut dapat dibuktikan maka demikian dia tidak bisa dikenakan penipuan.


 Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950 Tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia (UU NO.1/1950) pada Pasal 131 disebutkan bahwa: 

"Jika dalam jalan-pengadilan ada soal yang tidak diatur dalam Undang-Undang, maka Mahkamah Agung dapat menentukan sendiri secara bagaimana soal itu harus diselesaikan.”

Atas permasalahan tersebut, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956 (Perma No.1/1956). Disebutkan dalam Pasal 1 Perma No.1/1956 bahwa: 

"Apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.

Hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 628 k/Pid/1984 dan Surat Edara Jaksa Agung Nomor. SE-013/A/JA/12/2011 yang mengamanatkan agar diselesaikan terlebih dahulu pemeriksaan perkara perdata dari perkara pidana.

Popular Posts

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Cari Blog Ini

Adv. Reza Andreas Saputra, S.H.. Diberdayakan oleh Blogger.